Simply, I am using this blog just to share all the simple things, happens, that i through all the day. Some of these are recency of books that i have read, then story about the new place or the new something which i just get . I am working on government institution, i like reading books particularly biography and motivation book. On other parts, i like so much about music, usually record my own voice on Sound-cloud application, then hearing music all the long working time.
Kamis, 10 November 2016
Masihkah Birokrasi Kita Terkungkung Oleh Paradigma Lama? Refleksi Reformasi Birokrasi Dalam Satu Dekade
Birokrasi ternyata masih menjadi bahan sorotan yang selalu mendapat kritik tajam publik, hal itu bukan tanpa disertai sebab dan latar belakang, carut marut dunia biorkrasi Indonesia masih menjadi rapor merah pemerintah. Beberapa gerakan perubahan seperti revolusi mental dan reformasi birokrasi telah diusung sebagai senjata untuk menebas beragam stigma buruk birokrasi yang semakin hari bukannya semakin pulih, malah semakin dipandang minim perubahan. Banyak kalangan menilai, terutama kalangan intelektual, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, hingga masyarkat pada umumnya, bersikap pesimistis terhadap kondisi birokrasi yang memang belum dirasakan mengalami perubahan berarti. Bahkan terkesan muncul anggapan bahwa permasalahan birokrasi di negeri ini tidak bisa diatasi dengan konsep gagasan semata.
Potret birokrasi di Indonesia sedikit banyaknya masih mengadopsi pandangan realistis Karl Marx, di mana birokrasi dibentuk bukan untuk melayanai masyarakat justru melayani kelompok mayoritas atau kelompok tertentu yang mempunyai kekuatan atau pengaruh besar dalam pemerintahan. Namun di sisi lain, model birokrasi Indonesia juga digambarkan cenderung berorientasi pada model birokrasi legal-rasional Max Weber, yakni kekuasaan birokrasi sebagai tipe kekuasaan yang paling murni, ditandai oleh peraturan atas undang-undang sebagai ganti ketergantungan pribadi berdasar kemampuan pejabat kualifikasi profesional dan disiplin.
Jika melihat corak model kedua pemikiran di atas, agaknya memang wajah birokrasi di negeri ini mengarah pada kedua ciri tersebut. Model birokrasi realistis seolah memperlihatkan pergeseran peran dan fungsi perangkat birokrat yang banyak diintervensi bahkan dipolitisasi. Misalnya bila musim pemilihan kepala daerah tiba, kaum birokrat akan selalu menjadi sasaran politisasi kekuasaan, berdampak pada destruktif netralitas birokrat, kasus keterlibatan PNS yang kerap mendua dan memihak bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu, dan mungkin itulah yang kita sebut dengan tradisi. Untuk mensinyalir tekanan politisasi terhadap kalangan birokrat, pemerintah sudah membentuk lembaga independen yakni Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) di mana kewenangannya untuk menjaga netralitas PNS.
Dalam pembinaan manajemen ASN, pemerintah memiliki Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan fungsi dan tugasnya dalam penyelenggaraan manajemen kepegawaian secara nasional, melakukan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria kepegawaian agar berjalan sesuai koridornya. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dengan fungsi perumusan dan penetapan kebijakan, serta pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ASN. Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam tataran pengkajian kebijakan manajemen ASN dan penyelengaraan pendidikan dan pelatihan ASN. Artinya, secara tataran kelembagaan, pemerintah sudah memiliki wadah dalam melancarkan gerakan reformasi birokrasi. Jika pergerakan reformasi birokrasi Indonesia belum juga mengalami revolusi dan transformasi apapun, peran dan fungsi lembaga pemerintahan di atas perlu dipertanyakan.
Bergerak pada pemikiran model birokrasi Weber melalui legal-rasional, seluruh tindak tanduk perangkat birokrasi kita juga sudah diatur dalam ketentuan per-UU, tetapi hasilnya tetap tertuang dalam banjir regulasi tetapi minim implementasi. Wajah birokrasi Indonesia yang cenderung mengadopsi sumber pemikiran birokrasi modern Weber (dalam Ngadisah: 2009) yang bersifat stabil-mekanis, yakni model mekanis yang memiliki pola hubungan antar berbagai jenjang hierarki birokrasi berdasarkan prosedur administratif yang telah digariskan. Struktur kewenangan terkonsentrasi dan bersifat hierarkis, dan sumber kewenangan adalah kekuasaan. Tugas, peranan, dan fungsi digariskan dengan jelas dan rinci dalam bagan organisasi, uraian tugas, instruksi dan surat keputusan sehingga tanggung jawab melekat pada jabatan tertentu. Interaksi tidak “luwes” dan tidak membantu ke arah inovasi, karena interaksi didasarkan pada hierarki atasan bawahan. Perangkat peraturan dan prosedur banyak sekali dan spesifik, disimpan sebagai dokumen resmi. Semua itu menghasilkan stratifikasi berdasarkan kekuasaan, kedudukan, dan skala gaji yang mendorong adanya perbedaan yang lebih tajam antar berbagai tingkat hierarki.
Sosok birokrasi di Indonesia juga masih menampilkan corak patrimonial, yang merupakan benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan saksama. Model birokrasi kerajaan dan warisan model kolonial cenderung persistent hingga sekarang ini, seperti world view birokrat yang sering kali memanifestasikan warisan budaya aristokratis, orientasi vertical (ke atas) yang lebih mendominasi referensi birokrat, loyalitas ritual sering kali bersifat pribadi, kesadaran prestise dan status yang masih kuat, budaya panutan yang sering membayangi partisipasi, kecenderungan sentralisasi yang sangat kuat.
Paradigma usang gambaran birokrasi di atas tentu tidak lagi relevan dengan tuntutan perubahan masa, maka tidak heran jika pemerintah Indonesia dalam kepemimpinan Jokowi-JK mencoba menerobos sekat-sekat usang itu dengan gerakan perubahan, yang tentunya diharapkan bukan hanya sekadar slogan semata. Hal itu tentu didasari atas rendahnya kepercayaan publik terhadap perangkat penyelenggaraan pemerintahan. Mulai dari kritikan terhadap aturan yang dianggap berbelit-belit, hingga pada implementasi aturan yang mengambang. Ironisnya di dalam dunia birokrasi pemerintahan, makin banyak aturan yang dikeluarkan, makin sulit pelaksanaannya dan makin banyak biaya yang harus dikeluarkan masyarakat (Ngadisah, 2009).
Buruknya citra performa layanan birokrasi pasti menyasar pada perangkatnya, yang dipersepsikan sebagai faktor utama sulitnya perwujudan reformasi birokrasi. Tentu saja karena memang kalangan birokratlah yang menjadi motor penggerak reformasi birokrasi pemerintahan. Tanpa adanya peran birokrat, dipastikan roda pemerintahan akan berjalan mandat. Palmer dalam Ngadisah (2009) berpendapat bahwa keberhasilan birokrasi mempunyai korelasi positif dengan keberhasilan penyelenggaraan pembangunan. Menurutnya birokrasi memiliki peran penunjang pembangunan, yakni sebagai alat integrasi nasional, sebagai pelopor pembangunan, dan sebagai agen sosialiasasi politik. Dari peran yang diuraikan Palmer tersebut kita bisa melihat betapa besarnya peran birokrat bagi pembangunan suatu bangsa.
Tetapi nampaknya tidak banyak birokrat Indonesia menyadari betul kekuatan dampak dari peran, serta tugasnya terhadap pembangunan bangsa, baik secara moral dan dalam keberlangsungan pemerintahan. Meskipun tugas dan tanggung jawabnya sudah diatur jelas di dalam ketentuan dan UU yang pasti, ternyata tidak serta merta menjamin pelaksanaan birokrasi berjalan optimal. Pertanyaannya, apakah penyebab utama lambanya pergerakan reformasi birokrasi terletak pada perangkatnya (birokrat) atau regulasi yang mengikatnya?
Semangat gerakan reformasi birokrasi juga sudah mencuat sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, meskipun pencanangannya sudah dilakukan sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999, namun disayangkan implikasinya terlihat absurd, bahkan terkesan tidak mengalami perubahan apapun. Reformasi birokrasi di Indonesia dinilai lebih menekankan pada aspek perubahan kelembagaan, terbukti dikeluarkannya berbagai peraturan perundangan yang ditujukan untuk mendekatkan pelayanan. Pembuatan peraturan baru berarti perubahan sistem secara kelembagaan. Perubahan sistem kelembagaan seharusnya diikuti dengan perubahan sikap dan perilaku para birokratnya (yakni perubahan cultural) sehingga selaraslah antara peraturan dengan perilaku individual maupun kelompok, bukan sebaliknya.
Seorang sosiolog asal Amerika, Charles Wright Mills, yang juga dikenal sebagai kritikus yang paling berpengaruh di Amerika pada abad ke-20, dalam tulisannya pernah mengemukakan bahwa birokrasi sebagai organisasi raksasa dan rasional telah meningkat dan memusat, tetapi akal manusia tidak. Orang yang sepanjang hari berkungkung dalam lingkungan birokrasi, merasa tidak sanggup memahami struktur yang seolah-olah menelan mereka bulat-bulat. Mereka melakukan tindakan yang nampaknya rasional tanpa mengetahui ke mana mereka hendak dibawa. Orang seperti itu, adapted men, terjebak di dalam perangkat sempit liang-liang organisasi raksasa dan rasional yang mengatur pernapasan dan tingkah laku mereka secara sistematis, menundukkan mereka di bawah peraturan-peraturan keras organisasi. Jadi, birokrasi itulah yang memimpin dan membuat pola perilaku manusia dan bukan akal budinya.
Tentu kita berharap jangan sampai kalangan birokrat Indonesia terjebak dalam model manusia birokrasi rumusan Charles Wright Mills. Bayangkan jika 4,5 juta pegawai ASN di Indonesia terkungkung dalam konsep tersebut, akan sangat berbahayanya penyelenggaraan pemerintahan ditangani oleh tipikal SDM demikian. Memang harus diakui bahwa reformasi birokrasi merupakan persoalan yang kompleks, karena menyangkut perubahan paradigma manusia. Menggeser pola pikir pegawai ASN tentu tidak semudah mengusung gagasan reformasi birokrasi pada tataran konsep, karena yang dihadapi adalah 4,5 juta pegawai ASN yang tersebar di seluruh Indonesia, lengkap dengan segala kompleksitas permasalahannya.
Menjawab kekhawatiran itu, pemerintah perlu melakukan strategi reformasi perubahan paradigma yang pertama-tama harus dilakukan kepada para pemimpin atau pejabat birokrasi. Persamaan persepsi dan pandangan terhadap pentingnya melakukan reformasi birokrasi dan persamaan tujuan dan sasaran dalam melakukan reformasi birokrasi harus dimiliki oleh semua pimpinan/pejabat birokrasi. Contoh teladan yang baik dalam melayani masyarakat juga harus diberikan secara langsung oleh para pimpinan dan pejabat sehingga pegawai bawahannya bisa melihat secara langsung dan tergerak untuk mengikutinya. Reformasi hanya bisa dilakukan secara top down, sehingga reformasi dapat berjalan secara terkoordinir (Sulistyo, 2006).
Dari aspek sistem birokrasi, pemerintah perlu mengarahkan model birokrasi Indonesia dari paradigma usang seperti rumusan model yang dijelaskan di atas, kepada model birokrasi yang humanistik, yaitu birokrasi yang menempatkan manusia pada proporsinya. Melalui model ini kalangan birokrat diharapkan dapat mengaktuliasasikan potensinya secara utuh. Penghargaan terhadap harga diri dan kapasitas tersebut diharapkan akan melahirkan kepercayaan diri tidak saja untuk mencukupi kebutuhannya, tetapi juga kemampuan dan tanggung jawab melayani masyarakat. Kemudian dari sisi tataran kelembagaan, pemerintah harus memastikan institusi/lembaga terkait menjalankan roda manajemen kepegawaian melalui semangat reformasi birokrasi, dan jangan sampai menimbulkan tumpang tindih peran dan fungsinya masing-masing. Dan tentunya dari aspek gagasan yang diusung melalui gerakan revolusi mental dan reformasi birokrasi dipastikan berjalan dan tida hanya tinggal sebagai slogan. Pergerakan reformasi birokrasi juga tidak terlepas dari peran serta publik, bagaiamanapun indikator keberhasilan upaya pemerintah dalam mereformasi birokrasi tidak terlepas dari tingkat kepuasan publik. Opini publik tentunya menjadi indikator keberhasilan pemerintah dalam menggiring stigma birokrasi dan kredibilitas perangkatnya.
Sumber Rujukan/Bacaan:
Ngadisah, Darmanto. (2007). Birokrasi Indonesia. Jakarta; Universitas Terbuka
Amani, Siti Noor. Dadang Sudjarat dkk. (2006). Tantangan Utama Reformasi Birokrasi: Terciptanya Sinerjitas Pilar Good Governance: Pemerintah- Dunia Usaha- Masyarakat. Jakarta; Humas & Publikasi LAN RI
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014
www.bkn.go.id
www.lan.go.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar